Penjualan daging di Indonesia
semakit meningkat terutama pada hari-hari tertentu contohnya seperti hari
raya,dan di dorong juga oleh sifat konsumtif masyarakat Indonesia yang semakin
meningkat,pada kesempatan kali ini kita akan membahas "Apakah terdapat
kartal daging di Indonesia?"
Diduga karena ada kartal daging
pasokan daging semakin langkas, Perkiraan ini muncul karena Nawir melihat
kesulitan pasokan daging ini hanya terjadi di DKI Jakarta. Sedangkan di daerah
luar Jakarta, pasokan daging melimpah.
Distribusi yang tidak merata ini
menjadi penyebab melonjaknya harga daging. Parahnya lagi, Nawir melihat sistem
alokasi kuota daging, terutama kepada importir tidak transparan. Tidak
ada kejelasan kriteria bagi importir untuk menerima kuota pasokan daging.
Alhasil, kartel pun dapat dimainkan.
Rumah Potong Hewan (RPH) tak
luput dari pengamatan tim KPPU. Pasalnya, KPPU menduga RPH memiliki potensi
kartel dalam pengendalian pasokan. Soalnya, RPH adalah pintu untuk memperlancar
dan menghambat stok daging.
Lebih lagi, tim investigasi KPPU
juga menemukan sejumlah RPH dimonopoli perusahaan daging. Bentuk monopoli yang
dilakukan adalah penggelontoran dana yang dilakukan perusahaan daging ke RPH.
Dana diberikan untuk perawatan mesin-mesin dan kebersihan RPH agar bebas dari
penyakit pada sapi yang hendak dipotong. Sehingga, pengusaha daging menjual
daging lebih mahal.
Meskipun Nawir mencium adanya
indikasi kartel di sektor daging sapi ini, Nawir mengatakan tanpa kartel saja,
harga daging akan melonjak jika terjadi pengurangan pasokan daging sapi.
Rupanya, Direktur Eksekutif
Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi (Aspidi) Thomas Sembiring tidak sepakat
dengan Nawir Messi. Menurutnya, kartel bukan penyebab krisis daging sapi yang
melanda DKI Jakarta.
Bantahan ini diperkuat Thomas
dengan data harga daging sapi. Menurutnya, krisis daging sapi tidak hanya
melanda di DKI Jakarta, tetapi hampir diseluruh wilayah Indonesia.
Ia pun menyebutkan lima wilayah
dengan harga daging sapi tertinggi, seperti Papua harga daging mencapai Rp103
ribu/kg, Samarinda sekitar Rp102 ribu/kg, dan Tanjung Pinang sekitar Rp101
ribu/kg. Sedangkan Banjarmasin dan Malang bergerak di angka Rp100 ribu/kg.
“Kenaikan harga tidak hanya di
DKI saja, tetapi menyeluruh. Jadi, bukan disebabkan ada pengaruh permainan
pedagang,” urainya di KPPU, Rabu (6/2)
Menolak dikatakan ada indikasi
kartel, Thomas justru melihat program swasembada daging menjadi biang kerok
krisis daging. Soalnya, dengan program ini, pemerintah telah mengurangi kuota
impor. Akibatnya, jumlah daging sapi yang beredar di pasar Indonesia juga
berkurang. Sementara itu, jumlah data demand daging mengandung
kesalahan. Thomas melihat ada satu komponen yang tidak dihitung, yaitu kaum
ekspatriat.
Menurutnya, jumlah ekspatriat
yang ada di Indonesia juga mengonsumsi daging sapi. Brasil saja mengonsumsi
daging 30kg per kapita. Singapura dan Jepang membutuhkan 7kg per kapita dan
Vietnam berkisar 4 kg per kapita. Sedangkan Indonesia, hanya memerlukan 2kg per
kapita.
“Ada kelemahan dalam menghitung demand
sehingga terjadi kekurangan stok,” tukasnya.
Senada dengan Thomas, Assisten
Pengembangan Usaha Bidang Litbang RPH Cakung PD Dharma Jaya, Widhanardi
mengatakan krisis daging sapi disebabkan karena swasembada daging. Akibatnya,
kelangkaan bahan baku tidak dapat dihindari.
Kelangkaan terjadi karena
pasokan daging lokal belum dapat memenuhi seluruh permintaan konsumen.
Pasalnya, pasokan sapi dan daging sapi berasal dari peternak rumah tangga.
Sehingga, tidak semua sapi siap potong. Usia sapi siap potong milik peternak
berbeda-beda.
Kendati demikian, Widhanardi
tetap sepakat dengan swasembada asalkan lokal memliki pasokan yang cukup. Untuk
itu, pembenahan sistem dan kebijakan menjadi perlu demi mencukupi pasokan sapi.
sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5113151395cb2/dugaan-kartel-warnai-kelangkaan-daging-sapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar